Kenapa rezeki melalui jalan yang halal seringkali hasilnya lebih sedikit dan bahkan tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan cara haram untuk mendapatkannya?
Jika ditelisik dari usaha bagaimana kita mendapatkan hasil tersebut, dan benar lewat jalan yang haram. Maka kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini, semisal saja harta riba, telah disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2).
Seperti halnya pada kisah berikut, dimana dalam sebuah kitab fenomenal tentang dunia tasawuf, Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghozali bercerita tentang 2 nelayan yang pergi memancing ikan. Mereka sama- sama sudah berdiri di pinggir sungai, kedua nelayan itu masing-masing melemparkan alat pancingnya ke sungai. Sebelum melemparkan mata kail pancingnya nelayan pertama berdo’a:
Nelayan Pertama: “Bismillah, dengan nama Allah aku memancing …”
Semenjak itu, terlihat lama dia menunggu dan tidak ada satu ekor ikan pun mau memakan umpannya. ikan–ikan di dalam sungai itu seperti menjauh semua darinya. Adapun nelayan kedua saat melempar umpannya dia berdo’a:
Nelayan Kedua: “Bismis syaithan , dengan nama setan aku memancing …”
Semenjak kail nelayan kedua menyentuh air, maka seketika itu juga ikan – ikan saling berebutan memakan umpannya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, wadah yang dibawanya dari rumah telah penuh dengan ikan hasil tangkapannya. Dengan penuh keheranan nelayan pertama berkata :
Nelayan Pertama: “Apa yang terjadi? Semenjak aku lemparkan kailku, tidak ada satu ikanpun yang memakannya .
Nelayan Kedua: “Apa yang kamu baca sebelumnya?”
Nelayan Pertama: “Aku membaca doa, Bismillah, dengan menyebut nama Allah aku memancing”
Nelayan Kedua: “Hmm, mungkin karena do’amu itu engkau tidak dapat ikan satu ekorpun. Adapun diriku, aku membaca do’a Bismis Syaithan, atas nama setan aku memancing. Maka aku kemudian mendapatkan banyak ikan karenanya”
Untuk sekedar mendapatkan banyak harta dunia, banyak jalannya. Baik dengan cara yang jujur ataupun tidak. Dengan cara yang baik ataupun tidak. Kisah diatas menggambarkan ternyata cara yang baik belum tentu menghasilkan rejeki yang banyak. Sebaliknya, cara yang buruk dalam mencari nafkah itu ‘terkadang’ malah menghasilkan rejeki yang melimpah ruah. Yang demikian ini tidak perlu di isykali , karena sesungguhnya Allah Ta’ala Dzat yang membagi rejeki mempunyai ‘maksud-maksud’ tersembunyi serta hikmah – hikmah yang tidak kasat mata .
Di riwayatkan ada dua malaikat saling bertemu . Berkatalah salah satunya :
Malaikat Pertama: “Engkau dari mana ? “
Malaikat Kedua: “Aku diutus Tuhanku untuk memudahkan seorang kafir yang lalim untuk mendapatkan minyak zait sebagai rejekinya.”
Malaikat Pertama: “Adapun diriku, Tuhan telah memerintahkan aku untuk menjauhkan seorang hamba_Nya yang saleh dari minyak zait yang jadi rejekinya . “
Malaikat Pertama: “Mengapa demikian?”
Malaikat Kedua: “Karena Fulan yang Kafir itu banyak melakukan amal-amal kebaikan dan Allah telah membalasnya di dunia. Tetapi tinggal satu buah kebaikan yang belum Allah balas. Maka Allah inginkan satu kebaikan itu dibalas saat itu juga di dunia dengan jalan ia dimudahkan dalam mendapatkan sesuatu (yakni rejekinya yang berupa minyak zait) sehingga di akhirat kelak tak ada lagi tersisa satu buah kebaikanpun di dalam dirinya.
Malaikat Pertama : “Adapun Fulan yang saleh tersebut sesungguhnya dia mempunyai banyak derajat kemuliaan nanti di surga. Tetapi tersisa satu derajat kemuliaan di surga yang belum bisa menjadi miliknya. Maka Allah kemudian mempersulit satu urusan dirinya di dunia [ yakni rejekinya yang berupa minyak zait tersebut ] sehingga ketika ia menghadap Allah kelak di Akhirat Allah mengganti kesulitan tersebut dengan satu derajat kemuliaan surga yang tersisa, menyebabkan dia menduduki derajat surganya yang tertinggi .
Dengan demikian, Marilah kita merenungkan di jaman sekarang ini banyak kita lihat banyak para pejabat pemerintah atau pengusaha-pengusaha sukses yang semakin hari semakin kaya raya yang hartanya diperoleh dengan cara yang tidak halal seperti menipu, mengakali atau membohongi dan menjatuhkan kawan dan lawannya.
Bukan berarti Allah meridoi segala macam yang mereka perbuat, tapi itu merupakan istidraj yang mana Allah menyempurnakan perolehan rejekinya yang Haram sehingga di akhirat kelak tak ada lagi tersisa satu buah kebaikanpun di dalam dirinya, Naudzubillah Min dzalik.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).
Allah Ta’ala berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am: 44).
Ibnu Athaillah berkata, “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah.” Wallahua’lam.